Pupuk Menghilang, Terasa tidak Ada Pembelaan Nasib Petani
Jombang, layang.co – Para petani penggarap di sejumlah daerah di Kabupaten Jombang sementara ini gelisah, menyusul hilangnya berbagai jenis pupuk di lingkungan mereka. Pekan ketiga bulan September 2020 ini menjadi sebulan sudah pupuk di kios-kos yang biasanya tersedia, kini tidak ada barang.
Kondisi berbagai jenis tanaman saat ini butuh-butuhnya disiram pupuk. Petani tanaman kangkung biji di lingkungan Desa Watudakon, Kecamatan Kesamben dan Desa Bakalan, Desa Sebani Kecamatan Sumbobito, mengaku sudah berupaya mencari pupuk ke berbagai daerah sekitar, tidak mendapatkan.
Kastari (62 tahun), petani Bayem dari Dusun Rembugwangi, Desa Watudakon mendapatkan pupuk Urea di Kois Desa Betek, Kecamatan Mojoagung. Pupuk subsidi yang biasanya Rp 92.000/zak/50 Kg, dijual Rp 105 ribu. Namun, Kastari tidak bisa menebusnya karena bukan petani warga Desa Betek. Menurut penjaga kios, bisa membelinya harus menggunakan Kartu Tani Kelompok Desa setempat.
Sedangkan M Makhfudz (43 tahun) seorang petani dari Dusun Mbelut, Desa Ngumpul, Kecamatan Jogoroto kini menghadapi tanaman jagung yang berumur 12 hari kemungkinan tidak akan tumbuh normal. Dia mengakui sudah keliling ke desa sekitar untuk menemukan kios yang menjual pupuk.
“Bersama petani lainnya kami pusing. Saat Jagung “ngemes” pertama tidak ada pupuk. Ini yang tidak ada di daerah, atau pabrik tidak produksi, atau ada sabotase penimbunan,” ujarnya kesal yang ditemui terpisah, Senin (14/9/2020).

Suroto (65 tahun) petani Desa Watudakon yang menanam diversifikasi usaha tani jagung, kangkung, tebu, dan bayam merasa teramat kesal menghadapi kelakaan pupuk ini. Berulang kali mengikuti rapat di PTPN X (Pengelola Perkebunan Tebu) menyampaikan ada harapan solusi kebutuhan pupuk. Namun, jawaban normatif.
Suroto merasa sebagai petani tidak ada pembelaan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan terhadap nasib petani. Bersama petani lainnya digolongkan petani mandiri, walaupun lahan yang dikelola milik petani lainnya (kelompok).
“Jawaban yang saya peroleh, kuota kartu tani untuk lahan dua hektar/petani. Selebihnya, masuk petani mandiri, yang harus membeli pupuk non subsidi. Saya siap membeli pupuk non subsidi, tapi belinya di mana. Namanya petani, biarpun pupuk harga berapa tetap dibeli demi bisa panen,” urai Suroto yang mengaku menggarap lahan 20 hektar.
Menurut Suroto, petani butuh perhatian pemerintah atau Bulog. Sejauh ini produk petani dibeli tengkulak dan petani merugi. Saat ada serangan hama tikus, petani berjuang sendiri, tidak ada penyuluhan atau bantuan yang tepat bagi petani. Pupuk Tetes yang biasa harga Rp 450 ribu/5.000 liter naik menjadi Rp 650ribu/tangki, namun pabrik tidak mengeluarkan.
“Kejadian acuh dari pemerintah ini bukan hanya dialami petani padi polowijo, petani tebu seperti saya lebih parah. Karena 6 kali DO tebang, belum terbayar. Sedangkan kebutuhan uang ongkos kerja harus dibayar, ” ungkapnya, yang mengaku sempat tekanan darahnya sempat naik karena pemikiran ini. Sampai berita ini disiarkan, belum ada pihak berkempeten yang sempat dikonfirmasi. (dan)