JOMBANG, Layang.co — Penggerebekan rumah kontrakan di Jalan Pakubuwono, Desa Mojongapit, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang pada Senin (15/12/2025), mengungkap realitas baru yang mengkhawatirkan dalam peta peredaran narkotika di Jawa Timur.
Bukan sekadar kebun ganja biasa, Polres Jombang membongkar laboratorium budidaya berbasis teknologi tinggi yakni teknik indoor dengan aset ekonomi mencapai Rp6,5 miliar.
Kasus ini menyita perhatian publik bukan hanya karena skala barang buktinya yang cukup besar, melainkan karena keterlibatan seorang intelektual residivis yang memanfaatkan celah pengawasan pasca-rehabilitasi. Berikut lima fakta poin utama di balik temuan ladang ganja di Kota Santri:
1. Teknologi Pertanian Ilegal yang Canggih
Sindikat ini tidak lagi mengandalkan alam. Di dalam rumah yang disewa selama 10 bulan itu, polisi menemukan ekosistem buatan yang dirancang untuk produktivitas maksimal.
Modus operandi Ghost House atau rumah yang tampak mati namun aktif di dalam itu menjadi tameng utama selama hampir satu tahun.
Bahkan polisi juga mengamankan barang bukti sederet fasilitas canggih, yakni tenda greenhouse dan lampu ultraviolet yang dijadikan untuk pengganti siklus matahari untuk fotosintesis selama 24 jam.
Di dalam ruangan yang dijadukan tempat tanaman ganja itu memiliki suhu yang terkontrol. Penggunaan Air Conditioner (AC) dan pengatur suhu udara guna menjaga stabilitas pertumbuhan bibit impor.
Selanjutnya adalah laboratorium cairan, penggunaan campuran alkohol dan cairan fermentasi untuk mempercepat masa panen.
“Bibit-bibit ini diduga berasal dari luar negeri yang dibeli melalui transaksi online. Mereka membudidayakan lebih dari 15 varietas ganja di satu lokasi,” ungkap Kapolres Jombang, AKBP Ardi Kurniawan.
2. Intelektualitas yang Menyimpang
Dibalik layar, sosok berinisial D (48), seorang warga Bantul, Yogyakarta, menjadi otak intelektual.
Ironisnya, D dikenal sebagai penulis buku yang mendalami botani tanaman ganja. Pengetahuan teoritisnya diimplementasikan menjadi bisnis haram setelah ia gagal menanam dengan metode outdoor konvensional.
D merekrut R (43) sebagai operator teknis dan Y (35) sebagai perawat tanaman dengan upah rutin. Istri D, berinisial I (40), berperan vital sebagai penyokong logistik dan pengadaan alat-alat laboratorium. Struktur ini menunjukkan manajemen yang rapi, menyerupai perusahaan rintisan (startup) agrikultur, namun berbasis komoditas terlarang.
3. Kegagalan Pengawasan Residivis
Poin paling menonjol dalam pengungkapan kasus ini adalah status D sebagai residivis kambuhan.
Tercatat, D telah lima kali keluar-masuk penjara dalam kasus serupa. Keberhasilannya mengorganisir pendanaan kuat dan membangun laboratorium berbiaya tinggi tak lama setelah bebas memicu pertanyaan besar terkait efektivitas sistem rehabilitasi dan pengawasan narapidana narkotika setelah kembali ke masyarakat.
“Tersangka D adalah pemodal utama. Skala investasinya sangat besar, mencapai Rp500 juta hanya untuk peralatan. Ini bukan sekadar konsumsi pribadi,” imbuh Kasatresnarkoba Polres Jombang, Iptu Bowo Tri Kuncoro.
4. Analisis Nilai Ekonomi Kejahatan
Kepolisian membeberkan perhitungan aset yang mencengangkan dari hasil penggeledahan tersebut. Barang bukti ganja dengam berat 40 kilogram (kering dan basah) dengan estimasi nilai pasar Rp6 miliar (dengan asumsi Rp150.000/gram). Selanjutnya adalah peralatan dan sistem greenhouse senilai Rp500 juta. Sehingga ketika ditotal estimasi aset mencapai Rp6,5 miliar.
5. Kesaksian Warga dan Blind Spot Lingkungan
Rika (40), warga setempat, mengaku terkejut dengan fakta bahwa rumah yang ia kira kosong selama bertahun-tahun ternyata menjadi pusat produksi narkotika.
“Rumah itu dulunya kos-kosan, lalu sering berpindah tangan dan sempat disita bank. Selama ini sepi, tidak ada aktivitas keluar-masuk. Ternyata mereka lewat pintu belakang pada malam hari,” kata dia.
Lengahnya pengawasan lingkungan dan status kepemilikan rumah yang tidak jelas memberikan ruang bagi sindikat ini untuk beroperasi di tengah pemukiman padat tanpa memicu kecurigaan.
Pengungkapan laboratorium ganja di Kota Santri ini menjadi alarm keras bagi aparat penegak hukum bahwa kejahatan narkotika telah bergeser ke arah produksi mandiri berbasis teknologi tinggi (indoor farming).
Selain tindakan represif, kasus ini menekankan urgensi evaluasi terhadap program pembinaan residivis agar pengetahuan yang dimiliki tidak kembali disalahgunakan untuk membangun kerajaan bisnis ilegal yang lebih canggih.














