Di Bareng Jombang Tari “Ujung” Rotan Berevolusi Jadi Seni Tradisi Pelestari Budaya
KONON !!! Kegiatan tari “ujung” serupa ini dilakukan saling menyerang dan mencambuk. Menggunakan alat sepenggal potongan rotan ini biasanya dilakukan untuk meminta turunnya air hutan. Manakala dalam waktu yang dirasa sudah saat hujan turun namun juga belum turun. Akan tetapi, kini tradisi yang disebut kesenian tradisional ujung ini digelar sebagai bentuk upaya melestarikan tradisi budaya leluhur.
Sebagian orang warga Jombang mungkin tidak asing dengan tradisi cambuk rotan yang diperagakan pada momentum tertentu. Oleh sebagian orang yang sudah melestarikan aktivitas itu menyebutnya “ujung”.
Yakni tradisi saling memukul, dalam arti gantian mencambuk bagian tubuh lawan sesuka hati sekuat mungkin. Dengan tujuan tidak saling menyakiti atau meluapkan rasa dendam. Cambukan terutama diarahkan tubuh atas, punggung bagian belakang. Tidak boleh bagian tubuh yang vital seperti kepala, raut muka, dan kelamin.
Kegiatan ini mereka lakukan demi menjaga tradisi warisan nenek moyang warga sebuah desa. Mereka rela melakukan aksi ektrim saling cambuk. Dalam peragaan ini dipandu oleh petugas, berperan wasit juri. Mengawasi untuk mengontrol permainan, tidak boleh mendomonasi pukul terus menerus, melainkan bergantian.
Untuk bisa menjadi peserta tidak dipungut biaya, namun harus terdaftar pada panitia. Tradisi kesenian ujung ini digelar oleh warga Desa Mundusewu, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang. Desa ini berada di daerah dataran tinggi ini, wilawah berbatasan dengan kawasan pegunungan Wonosalam.
Karena sudah tradisi, ratusan warga berkumpul untuk ikut sebagai pelaku tradisi ujung, yakni tradisi saling cambuk dan menyerang. Konon, melalui tari seni ujung ini yang dilakukan oleh warga setempat dipercaya keinginan warga untuk mendapatkan air hujan bisa terkabul, dalam waktu yang tidak terlalu lama, atau konon bisa langsung diguyur hujan wilayah sekitar kegiatan.
Akan tetapi, belakangan ini tradisi lelehur ini, mengalami evolusi makna, bukan untuk meminta turun hujan, namun sebaliknya bentuk syukur sekaligus menjaga tradisi, guna melestarikan budaya tinggalan nenek moyang warga setempat.
Aksi saling cambuk ini dilakukan di atas panggung terbuka. Disaksikan hadirin yang datang. Peserta boleh memakai celana panjang. Namun, pakaian bagian atas harus dilepas, karena sasaran pukulan, cambukan adalah tubuh bagian punggung atas.
Setiap peserta tampil tidak dibatasi usia, begitu pula tidak ditentukan berat badan, pustur tubuh kurus atau gemuk, yang penting punya nyali, dan brani, tatag melihat kucuran darah lawan. Siapapun yang berani merelakan tetesan darahnya dalam tradisi ini, bisa langsung naik ke panggung.
Yang menarik, setiap usai memukulkan rotan ke tubuh lawan harus di barengi atau diikuti gerak tarian keceriaan, joget. Gerak tari ini seakan penawar rasa sakit, kendati di punggung peserta tampak guliran bekas cambukan rotan, dengan darah menetes atau masih tertahan dalam kulit.
Gaya tarian makin gemulai, manakala irama gendang yang ditabuh oleh pengrawit terasa mengasyiiiikan mengikuti lagu terpopuler.
Putut (47 tahun), salah satu pemain ujung mengaku rasa sakit akibat sabetan rotan dari lawan tidak pernah dirasakannya. Dirinya mengaku senang bisa mengikuti tradisi ini. Selain merasa senang, pemain ujung setelah naik panggung, langsung mendapatkan uang berobat sebesar Rp 25 ribu dari panitia.
Anisyah (52 tahun), Kepala Desa Mundusweu, sekaligus penyelenggara kegiatan ini mengatakan kegiatan ini dilakukan karena kesenian ujung menjadi cikal bakal berdirinya Desa Mundusewu. Kegiatan ini atas permintaan warga, digelar berdasarkan musyawarah bersama warga desa untuk melestarikan tradisi. Selain bertujuan untuk mengenalkan pada anak muda bahwa tradisi ujung adalah seni budaya milik Desa Mundusweu.
Diharapkan, tradisi meminta hujan ini tetap lestari dan tidak hilang ditelan zaman. Terutama di kalangan anak muda untuk bisa bersama sama melestarikan warisan budaya leluhur. Selain itu, juga bentuk rasa syukur atas pemilihan Kepala Desa yang berlangsung tertib dan aman tanpa ada permasalahan, kata Anisyah. (ab/dan)