Harga Cengkeh Wonosalam Terpelanting Rp 17.500/kg, Tengkulak Siap Gulung Tikar
Jombang, layang.co – Memasuki musim panen raya cengkeh di Kecamatan Wonosalam harga jualnya menurun terus. Terpelanting pada angka Rp 17.500/kg basah sedang cengkeh kering bertahan Rp 55.000/kg. Kondisi ini tidak memberikan harapan dan mengancam nasib tengkulak, gulung tikar, bahkan bangkrut.
“Apabila melihat informasi pasar harga cengkeh sementara ini, rasanya lebih condong merugi. Balik modal saja sudah menggembirakan,” ucap Sudariyono (51 tahun) seorang tengkulak saat berbincang dengan layang.co, pekan lalu.
Menurutnya, sedikitnya butuh modal Rp 200 juta, untuk bisa leluasa menebas buah cengkeh di pohon milik petani dengan asumsi bisa mendapatkan untung. Dengan keahlian menafsir seperti dirinya berani memberi uang perskot (tali omong) kepada pemilik pohon dan bayar lunas ketika mulai dipetik.
“Dampak Covid-19, daya beli masyarakat menurun, daya serap pabrik rokok terhadap cengkeh tidak seperti biasanya. Apalagi dengan harga Rp 17.500/kg, jelas nasib tengkulak diujung tanduk, merugi,” ungkap Sudariyono pelaku penebas cengkeh dipohon sejak tahun 1990-an ini.
Dia merincikan, biaya yang tidak bisa disiasati yaitu upah kerja petik Rp 70.000/orang/hari, upah tenaga “prethes/sortir” Rp 1.000/kg dari dompolan cengkeh menjadi butir miji-miji. Selain itu, biaya mobil angkut dan ongkos buruh ngusung Rp 250.000/kirim.
“Upah Rp 70.000/orang setara harga jual 10 kg cengkeh, bebas. Artinya, buruh membawa bekal makan sendiri,” tukas Sudariyono.

Menurut Sudariyono, tengkulak milih menjual basah mengingat perbandingan rendemen 3:1. Yakni biji cengkeh 3 kg basah akan susut menjadi 1 kg kering. Disamping ada biaya tambahan lain sperti proses penjemuran.
“Perbandingan 3:1 ini untuk cengkeh dilingkup Wonosalam bawah. Kalau cengkeh berasal dari wilayah lebih tinggi memiliki kadar air lebih basah, maka 3,5 kg basah menjadi 1 kg kering,” urai Sudariyono
Idealnya, katanya, harga jual cengkeh basah Rp 25.000/kg, sehingga tengkulak dan petani ada keuntungkan. Akan tetapi, perubahan harga sulit dicapai semenjak pasar cengkeh dimonopoli. Yakni, pembeli cengkeh hanya dikuasai oleh Boss Rokok Sampoerna, yang sekarang dimiliki invertor Amerika.
“Bahkan, pabrik rokok seperti Gudang Garam, Djarum atau industri rokok lainnya, membeli cengkeh ke PT Sampoerna. Monopoli inilah yang membuat harga cengkeh sulit untuk berubah, lebih mahal,” ujarnya.
Meski Sudariyono tidak memiliki data angka pasti, tetapi prediksi lelaki kelahiran Desa Carangwulung, Wonosalam ini, potensi produksi cengkeh Wonosalam hingga meliputi lingkungan Kecamatan Pacet dan Trawas Kabupaten Mojokerto, tidak lebih dari 1.000 ton per musim.
“Produksi cenderung menurun karena usia pohon cengkeh sudah tua, sementara peremajaan belum optimal. Petani kurang bergairah untuk merawat tanaman. Harga sempat bagus pada tahun 2005-an, kisaran Rp 115.000 – Rp. 125.000/kg basah. Saat itu, petani cengkeh sejahtera. Sekarang tengkulak, gulung tikar, terancam bangkrut,” ucapnya sambil nyruput Kopi khas Wonosalam. (dan)